Skip to main content

A Little Story From Jogja...

Hmm... Aku lupa kapan tepatnya semua ini dimulai. Yang aku ingat, semua terjadi begitu saja, terjadi begitu cepat. Akhir Oktober, status Merapi tiba-tiba berubah menjadi “AWAS”. Penduduk di lereng Merapi mulai dievakuasi satu per satu ke tempat-tempat yang lebih rendah dan lebih jauh dari Merapi demi keselamatan mereka. Hari demi hari, jumlah posko pengungsian semakin banyak seiring dengan semakin banyaknya jumlah penduduk yang harus dievakuasi. Semua ini aku ketahui dari layar kotak yang bisa menampilkan gambar bergerak dari berbagai tempat. Sedih sekali rasanya saat aku duduk di depan layar kotak itu dan berusaha menikmati apa yang disajikannya saat itu, apalagi sebelum ini dia juga menyajikan cerita tentang banjir bandang di Wasior dan gempa serta tsunami di Mentawai. Tidak hanya sedih, aku juga takut. Takut menyaksikan banyak kematian melalui layar kotak itu, takut membayangkan banyak kematian yang telah dan akan terjadi di dekatku, dan takut jika kematian menjemputku dengan cara yang menyakitkan.

Ketakutanku menjadi semakin besar ketika Kamis, 4 November 2010, hampir tengah malam, awan panas melepaskan dirinya dari cengkraman Merapi dengan gemuruh yang sangat besar, menuruni lereng selatan dengan kecepatan tinggi, menuju ke tempatku berada. Memang awan panas itu tak sampai ke tempatku berada, tetapi abunya menutupi setiap sudut kota Jogja; hujan abu yang sangat deras dan tak kunjung berhenti sampai matahari meninggalkan tahtanya pada keesokan harinya, yang membuat seluruh kegiatan perkuliahan di UKDW dan di tempat-tempat lain diliburkan sampai batas waktu yang telah ditentukan, dengan catatan jika tidak ada kejadian darurat lagi. Hari itu, aku dan teman-temanku mulai mengumpulkan dana dan barang-barang yang pasti dibutuhkan para pengungsi yang dievakuasi ke Jogja secara mendadak dari posko-posko pengungsian yang ada dan tidak sempat menyelamatkan barang-barang yang tersisa.

Kami mengusahakan berbagai cara untuk membantu para pengungsi. Ada yang menghubungi teman-teman di dalam dan luar Jogja, ada yang mengumpulkan pakaian layak pakai di sekitar tempat kami tinggal, ada yang membantu di dapur umum dadakan, ada yang mencari info tentang posko-posko penyalur dan pengungsian yang baru di daerah Jogja, ada yang menukarkan dana yang telah dititipkan kepada kami dengan barang-barang yang dibutuhkan para pengungsi, dan ada juga yang mengirimkan barang-barang serta makanan tersebut ke posko-posko pengungsian maupun posko-posko penyalur yang siap menampung dan menyalurkan ke posko-posko pengungsian yang ada. Hasilnya memang tidak bisa dibilang banyak karena sangat mendadak pada hari itu, tapi itu cukup membantu kebutuhan para pengungsi pada hari itu, dan menjadi awal bagi “posko kecil” kami. Ketakutanku pun menyingkir sejenak dengan adanya “kesibukan” baru itu.

Tetapi, malamnya tersebar berita bahwa Jogja akan dievakuasi. Seluruh penduduk Jogja diminta untuk bersiap-siap, membawa barang dan bekal seperlunya untuk beberapa hari jika memang harus evakuasi. Saat itu juga ketakutan kembali menghantuiku. Antara takut dan tidak percaya jika Jogja harus dievakuasi, padahal Jogja adalah tempat teraman bagiku dan para pengungsi saat itu. Jika Jogja harus dievakuasi, kami mau ke mana lagi? Adakah tempat lain yang cukup luas untuk menampung kami semua??

Saat teman-temanku mulai packing dan memintaku untuk packing juga, aku berontak. Aku tidak memasukkan satu barang pun ke dalam ranselku. Aku setengah yakin dan sangat berharap agar Jogja tidak perlu dievakuasi. Di sinilah tempat teraman bagi kami semua saat ini.

Malam itu, aku dan teman-teman satu rumah tidak tidur di kamar kami masing-masing. Kami tidur bersama di depan satu-satunya layar kotak yang ada di rumah itu sambil bercerita, hingga akhirnya kami pun tertidur satu per satu. Keesokan harinya, saat masih subuh, aku kembali ke kamarku karena tidak tahan dengan dinginnya udara subuh yang masuk melalui celah-celah jendela. Saat aku terbangun paginya, aku mendengar kicauan burung di luar kamarku yang sangat merdu dan menentramkan hati. Burung-burung itu seolah menyampaikan pesan dari Bapaku, “Bangunlah, anak-Ku. Aku telah memberimu hari yang baru, hari yang indah, yang akan menghapus ketakutan-ketakutanmu. Bangunlah dan nikmatilah hari ini, anak-Ku,” dan aku pun bangun dengan perasaan, semangat, dan keyakinan yang baru. Seluruh ketakutanku pun sirna tertimpa hangatnya mentari pagi. Hari itu, aku dan teman-temanku kembali berkutat dengan “kesibukan” baru kami. Sampai hari ini, di tengah kesibukan kami sebagai mahasiswa yang sudah kembali berkuliah sejak Kamis, 11 November 2010, kami terus berusaha membantu para pengungsi, baik yang ada di Jogja maupun di daerah lain yang telah kami jangkau seperti Klaten dan Muntilan, sebisa kami sesuai dengan aliran dana yang telah dititipkan banyak pihak kepada kami. Kami akan terus berusaha membantu para pengungsi di tempat-tempat lain yang sangat membutuhkan dan dapat kami jangkau sebisa kami sesuai dengan aliran dana yang masih dititipkan kepada kami.

Aku sangat berharap agar semua ini segera berakhir. Tidak ada hal lain yang sangat ‘ku harapkan saat ini, selain agar semua ini segera berakhir. Tidak hanya bencana Merapi, tetapi juga semua bencana yang terjadi di setiap pelosok Indonesia.

Please, keep praying for Indonesia...

May God bless us...

by: ckk ^^V

Comments







Instagram