Skip to main content

A Little Trip To Merapi...

January 22, 2011 ~ 13.30 pm
*found it in my old enough notebook… :)

Aku belum pernah pergi ke tempat itu. Membayangkan akan pergi ke tempat itu saja tidak pernah. Aku hanya mencoba membayangkan bagaimana tempat itu setelah Merapi membanjirinya dengan awan panas dan laharnya yang garang itu. Tetapi, hari ini aku pergi ke tempat itu. Ya! Akhirnya aku bisa melihat dari dekat, melihat secara langsung bagaimana tempat itu sekarang.

Hal pertama yang meluncur dari otak dan hatiku saat melihat tempat itu, Desa Kinahrejo, adalah kengerian yang amat sangat. Sepanjang perjalanan ke desa, yang terlihat hanyalah batang-batang pohon yang hanya mampu meringkuk tak berdaya dan tak berjaya setelah keperkasaan serta daun-daunnya direnggut dengan paksa darinya. Semakin dekat, semakin gersang pula sekitarnya. Semua dilahap habis oleh kegarangan Merapi. Desa itu pun benar-benar dihabiskan. Yang tersisa darinya hanyalah puing-puing yang sebagian besar juga juga tertimbun abu vulkanik yang semakin mengeras, serta bangkai-bangkai tanaman yang tergeletak tak berdaya, berserakan di segala penjuru.

Aku pikir aku hanya akan melihat puing-puing berserakan di mana-mana. Tetapi tidak! Aku melihat banyak orang di sana, yang datang untuk menonton desa itu dengan tiket masuk Rp 5.000,00 per orang. Miris sekali melihatnya! Desa itu malah dijadikan obyek wisata dan orang-orang datang dari jauh hanya untuk menontonnya. Ya! Hanya untuk menontonya! Sebuah obyek wisata bencana yang patut didatangi, ditonton, dan diabadikan dalam kotak-kotak mungil berlensa. Bahkan ada biaya masuknya: Rp 5.000,00 per orang. Jika ada 100 orang saja yang datang ke sana setiap harinya, sudah berapa banyak uang yang masuk ke kantong para penjaga pintu masuk itu? Ingin rasanya bertanya pada mereka, namun aku hanya mampu bertanya dalam hatiku, “Apa yang akan mereka lakukan dengan uang itu? Apakah uang itu akan dipakai untuk menghidupi warga Desa Kinahrejo yang sebagian sudah alih profesi menjadi penjual makanan – minuman di kios-kios kecil bagi para wisatawan yang kelaparan dan kehausan? Atau, jangan-jangan uang itu akan dimasukkan ke kantong mereka sendiri?”

Di jalan-jalan yang menuju ke sana, juga di sana, aku melihat tulisan, “Merapi bukan tontonan! Bantu hijaukan kami!” Tetapi, bukankah kini Merapi, juga Desa Kinahrejo, memang menjadi sebuah tontonan, menjadi sebuah obyek wisata yang nyata, yang menuturkan kegarangan Merapi? Lalu, apa yang dilakukan para wisatawan itu di sana? Sepertinya mereka hanya berwisata, hanya menonton dan mengabadikan kehancuran desa itu dalam kotak-kotak mungil mereka yang berlensa. Apa lagi? Tidak ada! Tidak ada lagi yang mereka lakukan selain menikmati pesona kehancuran yang ditimbulkan oleh Merapi di desa itu.

“Hei…”, kata hati kecilku. “Jangan lupa, kamu pun salah satu dari sekian banyak wisatawan itu. Apakah kamu sudah melakukan sesuatu untuk desa itu? Bukankah kamu juga tidak melakukan apa pun selain menonton dan mengabadikannya dalam kotak mungil berlensa milikmu?”

Aku hanya mampu terpaku dalam diam merenungkan kebenaran kata-kata hati kecilku. Satu demi satu rangkaian pertanyaan dan gambar-gambar yang telah terekam di benakku tentang desa itu meluncur keluar demi memperoleh jawaban atas “ketidakadilan” yang terjadi atas desa itu. Jika semua orang yang datang ke sana hanya ingin menonton dan mengabadikan pesona kehancuran desa itu, siapa yang akan menghijaukan desa itu; siapa yang akan menghijaukan Merapi?

Saat itulah gambar demi gambar tunas-tunas kecil, tunas-tunas baru, yang tumbuh di tanah sekelilingku, mulai memenuhi benakku. Tidak hanya satu atau dua, tetapi ada ratusan bahkan mungkin ribuan tunas-tunas kecil tumbuh di tanah sekelilingku. Mereka tumbuh di segala penjuru! Walaupun masih kecil, mereka akan segera tumbuh besar dan menghijaukan sekitarnya. Ya! Itulah jawaban yang ku cari sejak tadi.

Alam yang menghancurkan, alam pula yang akan memulihkan. Inilah kehidupan! Jika alam mau memulihkan kembali sesuatu yang telah dihancurkannya, bagaimana dengan manusia? Apakah manusia hanya bisa menghancurkan tanpa bisa memulihkan kembali?

Masih ada kehidupan setelah kematian. Dunia tidak akan musnah karena alam selalu memulihkan kembali sesuatu yang telah dihancurkannya. Jika ada yang mengatakan bahwa suatu saat dunia akan kiamat, akan musnah, bukankah dunia sudah kiamat bagi warga Desa Kinahrejo? Tapi toh dalam kiamat itu mereka masih memiliki semangat untuk tetap dan terus melanjutkan kehidupan mereka. Mereka masih memiliki harapan untuk masa depan mereka walaupun segala yang mereka miliki, bahkan masa depan mereka, telah direnggut dengan paksa dari mereka. Tapi toh mereka masih memiliki semangat dan harapan itu.

Lalu, bagaimana dengan aku nanti? Apakah aku bisa menjadi seperti warga Desa Kinahrejo, yang masih memiliki harapan di tengah penderitaan yang harus mereka alami? Apakah aku bisa bisa menjadi seperti tunas-tunas kecil itu yang masih memiliki kehidupan setelah kematian, sehingga mampu memberikan harapan baru di tengah penderitaan besar yang meluluhlantakkan segalanya?

Aku berharap aku bisa menjadi seperti mereka, seperti warga Desa Kinahrejo dan tunas-tunas kecil itu. Aku berharap aku sanggup menjalani hari-hariku yang tak hanya dipenuhi oleh kebahagiaan dan keceriaan, tetapi juga oleh kesedihan, kekecewaan, kemarahan, penderitaan, dan “kematian”.

“Masih ada kehidupan setelah kematian, masih ada harapan di tengah penderitaan!”

Semoga kalimat itu dapat terus ku ingat dan dapat menjadi semangat bagiku dalam menjalani setiap proses yang sudah disiapkan untukku, yang memang harus ku jalani, yang tentu saja akan membantuku untuk menjadi semakin semakin dewasa dan semakin mengenal karakterku.

Then…
I’m ready for the show…
How about you? :)
May God bless you and me always… n_n


by: ckk ^^

Comments







Instagram