Skip to main content

Bersatu, Berdamai, dan Jadilah Pembawa Damai bagi Indonesia

Tema ini penting untuk kita renungkan dan gumulkan bersama. Terlebih dalam situasi dan kondisi yang seperti ini, di mana kita sedang memperingati kemerdekaan bangsa kita dari jajahan bangsa lain. Mengapa? Katanya sudah merdeka. Tapi kenapa di sana-sini, kita bisa melihat atau mendengar, masih banyak terjadi kerusuhan, pertikaian dan permusuhan antar kelompok, daerah, suku, dan agama, masih banyak terjadi korupsi, ketidakadilan, kemiskinan, kelaparan, anak-anak yang putus sekolah, rakyat kecil yang susah mendapatkan pengobatan, dan lain sebagainya. Apakah ini yang namanya merdeka? Bukankah merdeka itu berarti bebas, lepas dari segala macam penjajahan atau perhambaan dalam hal apa pun dan oleh siapa pun juga? Tidak hanya lepas dari penjajahan secara fisik, tapi juga secara ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, agama, dan terutama dari segala macam hawa nafsu yang bisa menghancurkan dan membawa malapetaka bagi orang lain.

Dan sampai di sini, selama 68 tahun ini, kita bisa melihat bahwa Indonesia belum benar-benar merdeka. Indonesia memang sudah bebas, sudah lepas dari penjajahan oleh bangsa lain. Tapi, Indonesia masih dijajah dan direnggut kemerdekaannya oleh anak-anak bangsanya sendiri. Dengan demikian, belum ada damai di Indonesia. Belum ada damai yang dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia secara keseluruhan, tanpa kecuali.

Dalam kondisi yang seperti ini, di manakah kita berada? Apa yang sudah kita lakukan dan kita berikan bagi bangsa kita? Apa sumbangsih gereja agar kemerdekaan dan kedamaian itu boleh benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia?

Tentu kehadiran gereja bukan hanya dalam slogan yang semu, namun dalam sebuah karya yang nyata; apalagi dalam janji-janji Allah yang telah dimanipulasi sedemikian rupa, seperti yang dilakukan nabi-nabi palsu pada zaman Yeremia, saat umat berada dalam pembuangan. Mereka bernubuat palsu tapi memakai nama Allah agar nubuatan mereka tampak seperti yang asli. Mereka mengaku bahwa Allah menyatakan firman-Nya kepada mereka melalui mimpi. Padahal mimpi-mimpi itu adalah tipuan, rekaan hati mereka sendiri. Tapi, yang palsu terkadang lebih memikat daripada yang asli, sehingga umat bisa berbalik dari jalan yang benar dan melupakan Allah. Apalagi, di ayat sebelumnya, yaitu ayat 21 (mari kita buka bersama-sama), dituliskan bahwa Allah tidak mengutus nabi-nabi palsu itu, namun mereka giat; Allah tidak berfirman kepada mereka, namun mereka bernubuat. Ini merupakan tantangan yang harus dihadapi, bukan hanya oleh Yeremia dan umat pada saat itu, tetapi juga kita pada saat ini. Nabi-nabi palsu itu bekerja dengan giat untuk menyesatkan umat. Dan kita, anak-anak Allah, apakah kerja kita?

Gereja dipanggil oleh Allah bukan sebagai nabi-nabi palsu yang menebarkan kepalsuan, melainkan untuk membawa umat manusia kembali kepada Allah. Bukankah itu yang dirindukan oleh Allah dalam ayat selanjutnya? Allah berkata, “Sekiranya mereka hadir dalam dewan musyawarah-Ku, niscayalah mereka akan mengabarkan firman-Ku kepada umat-Ku, membawa mereka kembali dari tingkah langkahnya yang jahat dan dari perbuatan-perbuatannya yang jahat.” Ini merupakan sebuah sindiran sekaligus teguran yang tegas, baik kepada nabi dan umat Allah pada saat itu, juga bagi setiap kita pada saat ini. Tidak hanya itu. Ini juga merupakan sebuah tantangan dari Allah untuk kita. Kalau mereka, nabi-nabi palsu itu, giat bekerja untuk menjauhkan umat dari Allahnya, kenapa kita tidak giat bekerja juga untuk mewartakan kasih dan damai sejahtera Allah bagi semua orang? Bukankah kita adalah garam dan terang dunia?

Garam sering digunakan untuk mengawetkan makanan, untuk menjaga agar makanan tidak menjadi busuk. Selain itu, garam juga sering digunakan untuk menghilangkan bau tak sedap, melunturkan noda-noda atau kotoran-kotoran yang melekat pada pakaian, peralatan dapur, karpet, dan lain sebagainya, sehingga semua noda dan kotoran yang melekat itu luntur dan barang-barang tersebut menjadi lebih bersih.

Kalau kita adalah garam dunia, berarti kita harus bisa “mengawetkan” dunia ini, “melunturkan” dosa-dosa yang ada dalam dunia, menjaga agar dunia tidak menjadi busuk karena dosa. Dengan cara apa? Dengan cara “larut” di dalam dunia, sehingga mampu memberikan pengaruh serta teladan yang baik bagi dunia; seperti garam yang larut dan mampu memberi cita rasa tertentu pada makanan, yang membuat makanan menjadi enak dan tidak hambar rasanya, serta garam yang larut dalam air atau larutan tertentu dan mampu melunturkan noda dan kotoran pada pakaian, peralatan dapur, dan lain sebagainya.

Garam memang harus larut dalam makanan, karena jika tidak maka rasa makanan tidak akan mengalami perubahan dan noda serta kotoran yang ada juga tidak akan bisa dibersihkan. Tapi, bukan berarti garam itu kehilangan integritasnya, kehilangan jati dirinya. Garam tetaplah garam. Hanya wujudnya yang berubah; bukan jati dirinya. Larut, tapi tidak hanyut. Larut, tapi tidak menjadi sama dengan sekitarnya.

Demikian juga dengan kita. Kita harus mau bersosialisasi dengan dunia, dengan masyarakat di sekitar kita. Karena jika kita tidak bisa, apalagi tidak mau, maka kita tidak akan bisa memberi pengaruh dan teladan yang baik bagi mereka, dan dengan demikian kita tidak akan bisa membawa damai bagi mereka. Dan tidak menutup kemungkinan akan muncul persoalan baru, konflik-konflik baru karena kita tidak bisa dan/atau tidak mau bersosialisasi dengan mereka. Tapi, kita tidak boleh hanyut, tidak boleh terseret arus dunia, tidak boleh menjadi sama dengan mereka. Kita harus tetap menjaga integritas kita, jati diri kita sebagai anak-anak Allah. Larut, tapi tidak hanyut.

Terang pun demikian. Terang sangat dibutuhkan oleh semua orang saat berada atau berjalan di tempat yang gelap, karena terang tidak mungkin tersembunyi dalam gelap sehingga mampu membantu orang untuk melihat dengan cukup jelas dalam gelap dan menuntunnya keluar melewati kegelapan itu. Untuk itu, terang harus masuk ke dalam kegelapan. Jika tidak, terang tidak akan bisa melakukan fungsinya. Apa yang mau diterangi jika kegelapan itu tidak ada? Apa yang mau diterangi jika terang itu sudah berada di tempat yang terang?

Kalau kita adalah terang dunia, berarti kita harus mampu menerangi sekitar kita, menyebarkan terang kasih Kristus di dalam dunia, sehingga kita dapat dibedakan dari dunia yang gelap serta dapat menuntun orang keluar dari kegelapan itu, dapat memberikan teladan serta pengaruh yang baik bagi sekitar kita. Dengan catatan, kita mau menjadi bagian atau berada di dalam kegelapan itu.

Sayangnya, masih banyak di antara kita yang bersembunyi di dalam gedung gereja kita. Masih banyak di antara kita yang menutup mata, tidak ambil pusing, dan tidak peduli akan apa yang terjadi dalam dunia. Yang menjadi garam dan terang hanya bagi mereka yang berada di dalam gedung gereja kita dan tidak bagi mereka yang ada di luarnya. Dan ini adalah hal yang sia-sia. Hal yang tidak dikehendaki oleh Allah. Lalu, bagaimana seharusnya?

Dalam mukadimah Tata Gereja GKI, dikatakan bahwa GKI terpanggil untuk berperan serta dalam melaksanakan misi Allah dalam konteks masyarakat, bangsa, dan negara, di mana gereja tersebut berada. Dalam hal ini, kita selaku bagian dari GKI diminta untuk membuka diri dan bekerja sama dengan gereja-gereja lain, pemerintah, serta kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat. Untuk apa? Untuk mengusahakan kesejahteraan, keadilan, perdamaian, serta keutuhan ciptaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tentu semua ini harus dilakukan dan dijiwai dengan iman serta kasih. Jika tidak, maka yang kita lakukan akan menjadi sebuah kesia-siaan belaka.

Umat, atau rakyat tidak membutuhkan janji-janji atau nubuatan-nubuatan yang palsu. Mereka membutuhkan sesuatu yang nyata dan bisa mereka lihat, yang bisa menjadi contoh atau teladan bagi mereka. Masih banyak nabi-nabi palsu yang berada di sekitar kita, yang giat bekerja untuk menyesatkan dan menjerumuskan semua orang ke dalam dosa dan kegelapan, dengan nubuatan-nubuatan palsunya itu. Tapi, kenapa kita, para garam dan terang dunia ini, masih banyak berdiam diri seolah tidak peduli dengan mereka? Karena tidak tahu apa yang harus kita lakukan? Atau karena tidak bisa melakukannya? Tidak mungkin! Saya yakin semua orang, setiap kita, pasti tahu apa yang harus dilakukan dan pasti bisa melakukannya. Hanya saja, tidak semua orang mau melakukannya. Jadi, masalahnya bukan tahu atau tidak, bisa atau tidak, tapi mau atau tidak.

Memang, nantinya nabi-nabi palsu itu akan dihakimi dalam sidang Ilahi. Mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Allah dan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatan mereka. Akan tetapi, kita pun juga akan dihakimi dalam sidang Ilahi. Sama seperti nabi-nabi palsu itu, kita juga harus mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kita di hadapan Allah. Dan kita juga akan menerima hukuman jika kita tidak melakukan tugas kita sebagai anak-anak terang, sebagai anak-anak Allah. Mengapa? John Stott, seorang teolog besar pernah berkata, “Jangan bertanya kenapa dunia ini semakin gelap, tetapi bertanyalah dimanakah terangnya; dan jangan bertanya kenapa dunia ini semakin busuk tetapi bertanyalah dimanakah garamnya”.

Oleh karena itu, menjadi garam dan terang dunia merupakan tugas utama setiap kita sebagai anak-anak Allah. Bukan tugas pendeta, penatua, atau mereka yang kuliah teologi saja. Tetapi tugas setiap kita, tanpa kecuali. Dunia membutuhkan garam dan terang itu. Dunia membutuhkan kita sebagai pembawa damai agar tidak menjadi busuk dan dilingkupi kegelapan.

Tapi, jika kita mau menjadi pembawa damai, kita harus mau berdamai dulu dengan sesama kita. Dan jika kita mau berdamai dengan sesama kita, kita harus mau bersatu dulu dengan mereka. Bersatu bukan berarti sama. Bersatu berarti mau menerima perbedaan yang ada, sembari menyelaraskannya untuk menjadi sebuah harmoni yang indah. Sehingga segala perbedaan yang ada tidak lagi menjadi penghalang maupun penghambat, tetapi menjadi sebuah aset, sebuah keuntungan yang boleh kita miliki bersama.

Kita tidak perlu takut atau merasa tidak mampu melakukannya. Karena kita tidak perlu mengatakan dan/atau melakukan hal-hal yang besar, seperti apa yang dituliskan dalam surat kepada orang Ibrani yang sudah kita baca tadi: di mana orang-orang Israel dapat melintasi Laut Merah seperti melintasi tanah kering, tembok Yerikho yang runtuh setelah dikelilingi selama tujuh hari, dan seterusnya.

Cukup dengan hal-hal kecil yang bisa kita, lakukan bagi orang-orang di sekitar kita. Hal-hal yang benar-benar jujur dan tulus berasal dari kedalaman hati kita. Melalui setiap perkataan dan perbuatan kita yang mencerminkan kasih Kristus, yang tampak nyata dalam kehidupan kita sehari-hari, kapan pun dan di mana pun kita berada. Sehingga setiap orang yang melihatnya boleh merasakan kasih dan damai sejahtera Kristus, hidupnya diubahkan menjadi lebih baik, dan memuliakan Bapa kita, Sang Raja Damai. Semua orang pasti bisa melakukannya. Hanya saja, tidak semua orang mau melakukannya. Jadi, maukah kita?

Marilah kita pada saat ini, memperingati dan merayakan kemerdekaan bangsa kita dengan bersama-sama bersatu dan berdamai dengan sesama kita. Sehingga kita boleh membawa kemerdekaan serta damai yang sesungguhnya bagi sekitar kita, bagi negara kita, Indonesia, dan nantinya bagi dunia. Tuhan memberkati setiap kita. Amin.

by: ckk ^_^
17 Agustus 2013
kamarku ~ Jombang
sekitar pk 21.30 WIB

Comments







Instagram