Skip to main content

Sebulir Refleksi dalam Sebuah Perjalanan

Tidak terasa 18 minggu hampir usai. Sebuah tenggang waktu yang cukup panjang tapi juga cukup singkat untuk sebuah perjalanan, petualangan, dan pelajaran tentang kehidupan. Banyak yang sudah terjadi. Banyak yang sudah saya alami. Banyak pula yang sudah saya pelajari. Dan banyak di antaranya adalah pengalaman serta pelajaran baru bagi saya. Sungguh merupakan sesuatu yang berharga bagi masa depan. Namun, dalam perjalanan ini tentu tidak sedikit kesalahan yang sudah saya perbuat. Terkadang kesalahan-kesalahan itu membuat saya down, namun tidak jarang kesalahan-kesalahan itu justru menjadi sebuah pelajaran yang penting, yang juga berharga bagi masa depan. “Nggak ada noda, nggak belajar,” kata sebuah iklan di TV.

Dalam waktu-waktu ini banyak sekali jemaat yang bertanya, “Setelah ini mau ke mana?”, atau “Setelah ini ditempatkan di mana?”, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang senada. Jawaban saya selalu sama, “Pulang dulu lah…” Soal proses atau penempatan selanjutnya itu urusan nanti. Yang penting pulang dulu. Mengambil waktu yang ada untuk berkumpul bersama orang-orang terdekat; waktu atau kesempatan yang selama 18 minggu ini tidak dapat saya nikmati. Sekaligus mengambil jarak, agar pelayanan (berikutnya) tetap sehat dan optimal.

Mungkin semua orang akan bertanya, “Mengambil jarak? Buat apa? Segitu melelahkannya kah pelayanan sebagai seorang calon pendeta (atau pendeta) sehingga harus mengambil jarak?”, dan sebagainya. Tentu mengambil jarak di sini bukan dalam arti yang negatif dan bukan karena pelayanan yang memberi dampak negatif pula. Tapi, pengambilan jarak ini dilakukan agar pelayanan tidak menjadi sesuatu yang menghimpit, yang kemudian dilakukan hanya sebagai sebuah tugas, kewajiban, atau rutinitas belaka. Yang akhirnya membuat pelayanan itu tidak memiliki makna, bahkan dapat menjadi batu sandungan bagi orang lain.

Pengambilan jarak juga diperlukan agar waktu yang ada dapat dibagi rata untuk semua orang, termasuk keluarga dan/atau orang-orang terdekat serta diri sendiri. Jangan sampai waktu yang kita miliki habis hanya untuk melayani orang lain, sehingga kita tidak lagi memiliki waktu yang cukup untuk melayani orang-orang terdekat maupun diri kita sendiri. “Bukankah yang paling penting adalah jemaat yang terlayani dengan baik?” Tentu tidak. Sebab, jika menjadi pendeta berarti menjadi berkat bagi jemaat namun menjadi batu sandungan bagi orang-orang terdekat, apalah artinya? Bukankah mereka semua seharusnya menerima pelayanan yang sama baiknya? Dan jika menjadi pendeta berarti “membuang” diri sendiri demi orang lain, bukankah itu sama artinya dengan tidak mengasihi diri sendiri?

Para pendeta dan calon pendeta, bagaimana pun juga, sehebat apa pun mereka, tetaplah manusia biasa; yang bisa lelah, baik secara fisik maupun psikis. Oleh karena itulah jarak diperlukan, agar tubuh dan pikiran memiliki waktu untuk beristirahat, dan agar kita tidak mengalami burn out dalam pelayanan. Sehingga pelayanan berikutnya tetap efektif dan berkualitas. Ini adalah salah satu bentuk mengasihi diri sendiri. Bagaimana mungkin seorang yang tidak mengasihi dirinya sendiri bisa mengasihi dan melayani orang lain? Kasih dan pelayanan yang semu, mungkin bisa. Tapi kasih dan pelayanan yang tulus, tentu tidak.

Pengambilan jarak dalam pelayanan bukanlah suatu hal yang semata-mata negatif. Jika dilakukan dengan baik, hal ini justru dapat menjadi sebuah cara untuk menjaga agar pelayanan tetap sehat dan optimal, tetap efektif dan berkualitas. Tidak hanya bagi jemaat, tapi juga bagi keluarga dan/atau orang-orang terdekat, serta bagi diri sendiri. Karena, jika terjadi ketimpangan pada salah satu di antaranya, apakah pelayanan yang dilakukan dapat disebut baik, dapat berjalan dengan baik, dan dapat membuahkan hasil yang baik pula?

by: ckk ^_^
04 Februari 2014
kamarku ~ Jakarta
sekitar pk 09.25 WIB

Comments







Instagram