Skip to main content

Sebulir Refleksi yang Sempat Terurai di Masa Lalu

Banyak orang yang mengatakan kepada saya kalau jadi pendeta itu enak karena hidupnya terjamin. Tidak perlu pusing memikirkan materi seperti rumah, kendaraan, biaya hidup, biaya untuk anak, dan sebagainya. Dan sebagian orang yang saya kenal sebagai calon pendeta atau mahasiswa teologi rupanya juga berpikiran kurang lebih seperti itu. Terlebih ada di antara mereka yang menargetkan kapan harus ditahbis menjadi pendeta dan berusaha sedemikian rupa agar targetnya tercapai. Bahkan, ada beberapa teman yang pernah mengatakan dengan setengah bercanda tapi juga setengah serius bahwa pendeta adalah sebuah pekerjaan yang mudah dan menyenangkan. Hanya perlu bermodalkan kata-kata atau omongan, uang pun mengalir ke dalam kantong pribadi dan kebutuhan hidup terpenuhi. Sungguh merupakan sebuah hal yang menarik.

Tapi, apa benar bahwa seorang pendeta hidupnya pasti enak? Mungkin terlihat demikian, tapi apa benar demikian? Bukankah urusan kecil tentang rumah atau kendaraan bisa menjadi masalah yang cukup besar? Demikian pula dengan pasangan dan anak, yang tadinya merupakan masalah kecil bukankah bisa menjadi masalah yang lebih besar? Melakukan ini bisa salah, tapi melakukan itu juga bisa salah. Begini bisa salah, begitu juga bisa salah. Seakan jadi serba salah. Sampai beberapa tahun yang lalu sempat muncul semacam puisi yang cukup panjang dan terkenal tentang keserbasalahan seorang pendeta.

Sering saya melihat pendeta dan calon pendeta yang pada akhirnya memiliki double standard dan seolah menjalani dua kehidupan, bahkan bisa lebih. Maksudnya, di depan jemaat mereka tampil dan bersikap seperti apa, di depan rekan-rekan sekerjanya tampilan dan sikap mereka bisa berbeda, dan di rumah tampilan serta sikap mereka bisa berbeda lagi. Memang tidak semua seperti itu, tapi ada, dan sepertinya cukup banyak. Dan seringkali yang menjadi korban adalah keluarga. Mereka berusaha semaksimal mungkin untuk menampilkan atau memberikan yang terbaik bagi jemaat dan menyenangkan jemaat, namun hal itu membuat mereka lelah. Sehingga saat di rumah mereka beristirahat agar di luar rumah, di depan jemaat, mereka bisa tampil maksimal lagi dan tidak mengecewakan jemaat. Dengan kata lain, keluarga mereka korbankan. Keluarga tidak mendapat bagian yang sama, bagian yang terbaik seperti yang mereka berikan bagi jemaat.

Akan tetapi, banyak juga pendeta maupun calon pendeta yang tidak demikian. Mereka mampu menyelaraskan kehidupannya, sehingga antara jemaat dan keluarga mendapatkan bagian yang sama dan tidak ada yang dikorbankan. Namun, sebagian di antara mereka ini rupanya tampil dan bersikap berbeda jika berada di depan rekan-rekan sekerjanya. Tidak jarang keluhan tentang jemaat serta hal-hal buruk yang dapat menjelekkan jemaat, yang di hadapan jemaat serta keluarga tidak pernah dipermasalahkan, disampaikan di hadapan rekan-rekan sekerja. Seolah ingin mendapat persetujuan bahwa apa yang dikeluhkan itu memang benar dan layak dikeluhkan, atau ingin mencari teman yang senasib dan seperjuangan dalam hal itu, atau mereka hanya lelah dan ingin dimengerti serta sedikit beristirahat. Bukannya hal itu tidak boleh dilakukan. Karena, bagaimana pun juga, ada hal-hal tertentu yang tidak bisa, bahkan tidak boleh dibicarakan dengan jemaat maupun keluarga. Namun, jika hal itu kerap terjadi bahkan untuk hal-hal yang sebenarnya bisa dan boleh dibicarakan dengan jemaat maupun keluarga karena ingin menjaga image sebagai seorang pendeta yang baik dan lain-lain, bukankah itu tidak berbeda dengan memakai topeng? Dan bukankah itu melelahkan?

Belum lagi adanya kemungkinan terjadi persaingan antara rekan sekerja dalam satu jemaat. Persaingan yang tersirat maupun tersurat, perang panas maupun dingin. Dari yang tidak terlalu mencolok atau terlihat oleh jemaat, sampai yang mampu membagi jemaat ke dalam beberapa kubu. Alasan di balik persaingan itu serta hal-hal apa saja yang bisa dan akan dipersaingkan tentu sangat beragam. Dari hal yang kecil sampai ke hal-hal yang besar; hal yang sepele sampai yang rumit.

Memang tidak semua pendeta maupun calon pendeta seperti itu. Tapi ada. Dan sepertinya cukup banyak. Kalau demikian, apa benar jika dikatakan bahwa pendeta adalah sebuah pekerjaan yang mudah dan menyenangkan? Menyenangkan, mungkin iya. Tapi mudah, tunggu dulu.

Kependetaan, atau jabatan sebagai seorang pendeta adalah sebuah anugerah dari Tuhan. Anugerah yang tidak semua orang dapat memiliki serta merasakannya, sekalipun mereka sangat menginginkannya. Namun, anugerah ini bukanlah anugerah yang sembarangan. Anugerah ini “menuntut” tanggung jawab yang besar dari orang yang menerimanya. Tanggung jawab yang lebih besar daripada mereka yang belum atau tidak menerima anugerah ini. Tanggung jawab yang diemban seumur hidup. Sama seperti mereka yang menikah secara Kristiani tidak boleh berkata “Cerai!” dan tidak boleh sekalipun melakukannya, demikianlah kehidupan seorang pendeta. Jika sudah berani menerima anugerah yang diberikan oleh Tuhan itu, maka jangan sampai berkata ingin menanggalkan jabatan dan jangan pernah melakukannya. Tidak hanya itu. Seluruh aspek kehidupan seorang pendeta pun harus dapat menjadi teladan dan berkat bagi semua orang yang ada di sekitarnya. Bukan hanya bagi jemaat, tapi juga bagi keluarga dan rekan-rekan sekerjanya. Sebab, jika menjadi pendeta berarti menjadi berkat bagi jemaat namun menjadi batu sandungan bagi keluarga maupun rekan-rekan sekerja, apalah artinya?

by: ckk ^_^
31 Januari 2014
kamarku ~ Jakarta
sekitar pk 09.21 WIB

Comments







Instagram