Skip to main content

secuplik kisah dariku yang 'mencintaimu pagi, siang, malam'

Cinta membawa keajaiban.
Aku bertemu denganmu.

Bukan indah matamu yang meneduhkanku,
tapi caramu memandangku.

Menatap matamu,
duniaku lumpuh di hadapanmu.

Adakah sihir yang lebih berbahaya?
Tatapan matamu.
Aku terkurung dalam keindahan.



Cinta yang memilihmu,
bukan aku yang mencarimu.

Aku memilihmu, tidak di antara pilihan,
tetapi karena aku memilihmu.

Aku mencintaimu,
bukan karena dia tidak mencintaiku.

Aku hanya punya dua pilihan:
Mencintaimu...
Atau mencintaimu.

Kalau saja aku punya banyak ruang untuk mencintai.
Aku hanya akan mencintaimu.
Saja.

Cinta yang begitu.
Cinta yang terlalu.
Begitulah aku terlalu mencintaimu.

Cintamu tak pernah mengajariku,
tapi membuatku menjadi diriku yang lebih baik.



Aku ingin menjadi pagi untukmu,
yang mencintaimu dari hari ke hari.

Pagi adalah caraku mengatakan
aku selalu ada untukmu.

Aku tak pernah meragukanmu,
seperti pagi yang datang setiap kali.

Mencintai pagi, mencintai kamu.
Seperti merpati yang selalu kembali.

Seperti matahari kepada pagi,
itulah janji yang ku beri.



Satu hal aku tak akan pernah menyerah.
Mencintaimu.

Cinta bukan kata-kata indah.
Aku ingin bersamamu lebih lama,
betapa pun pahit kenyataannya.

Aku hanya ingin bersamamu.
Apakah itu terlalu?
Aku tak pernah meminta lebih dari itu.

Meskipun ada di dalam hati,
cinta juga perlu melihat, menyentuh, mendekap.
Tidakkah kamu mengerti?

Kemarin pertemuan tertunda.
Hari ini rindu tertunda.
Besok batalkan saja cinta.
Aku tak mau terlunta-lunta.



Diberikannya kepadaku cinta yang berwarna,
ku berikan kepadanya cinta yang teruji.

Kalau cinta menyatukan perbedaan,
mengapa kita berpisah?

Kita dipertemukan dan dipisahkan oleh cinta.
Lalu untuk apa ada cinta?



Jika tidak ada cinta,
masihkah kamu akan mencintaiku?

Jika tidak bertemu denganmu,
aku tidak akan jatuh cinta.
Jika tidak mencintaimu,
aku tidak akan merindukanmu.
Jika tidak ada jika...



Aku tidak akan pernah meminta maaf,
karena mencintaimu bukan kesalahan.

Pagi sederhana,
memberi tanpa diminta.
Mencintaimu tanpa dicintaimu.

Aku mencintaimu dengan segala kemustahilan,
bahkan ketika kemungkinan menjadi mustahil.

Kamu yang pergi,
tak usah kembali.
Tak ada musim semi.
Aku menanti pelangi,
yang tak pernah mengingkari.



Aku tidak menangis, bukan karena tidak bersedih.
Aku ingin melihat jelas ketika kamu pergi,
agar bisa mengenangnya.

Kenanglah aku dengan tawa dan bahagia.
Biar menjadi setapak jalan untukmu kembali.

Kenanglah aku dengan segala kelemahanku,
karena kamulah kekuatanku,
hingga kamu ingat mengembalikannya padaku.



Setelah semua rasa,
tersisa tanya.
Semu atau nyata?
Kamu atau kita?
Berlalu, atau cinta...

Mengapa baru kita mengerti arti cinta,
setelah cinta itu selesai?



Seharusnya aku yang ada di sampingmu.
Tapi kamu lebih membela status daripada bahagia.

Aku memang tak sempurna,
tapi bukankah karena itu aku membutuhkanmu?



Kita tak perlu menyentuh langit,
tak perlu sayap.
Bergenggaman tangan kita.
Di sini.
Bahagia dengan sederhana.

Aku tak ingin menaklukkan dunia.
Aku tak ingin menjelajahi angkasa.
Aku hanya ingin menjadi perempuan
yang kau cintai.

Gelas kosong yang ku minum.
Mencintaimu yang tidak mencintaiku.



Biar aku menjadi air yang memadamkan api.
Kalau dengan begitu aku bisa mengalir ke hatimu.
Menjadi berarti bagimu.

Kamulah halilintar
yang membumihanguskan.
Aku berlari mendekat,
meski ku tahu hatiku akan porak-poranda.

Aku adalah kelopak-kelopak.
Entah bagaimana aku tumbuh,
jika air mata yang menyiramiku setiap hari.



Kamu seperti siang hari,
tak mau mengawali seperti pagi,
tak berani mengakhiri seperti malam.

Kamu tawarkan siang menjadi milikku.
Aku tahu, itu caramu mencintaiku dalam tiada.
Agar aku mau melepaskanmu setelah matahari tiada.

Bagaimana mungkin aku bisa memberikan mentari pagi,
jika kamu tidak pernah bangun di sisiku?

Malam menentukan hatimu.
Pulang ke pelukanku yang sungguh,
atau ke pelukannya yang semu.



Sedikit waktu yang kamu berikan,
bukan menit yang harus ku jumlahkan.
Tapi saat-saat kamu bersamaku.
Mencintaiku tanpa yang lain.

Izinkan aku merasa.
Satu-satunya milikmu.
Satu kali saja.



Kamu takut untuk mencintaiku,
karena kamu takut aku tidak mencintaimu.

Jangan janjikan aku pelangi
yang datang setelah hujan.
Jangan buat aku menangis
hanya untuk bersamamu.



Kepada malam aku bercerita.
Apakah cinta hanya milik mereka?

Sengaja malam hanya hitam,
agar aku dan kamu mewarnainya.

Malam untuk mengadu,
betapa banyak kecurangan di dunia ini.



Kebohongan hanya menyakiti dirimu sendiri.
Karena kamu tahu kamu telah berbohong.

Kejahatan tak terampuni,
menipu hatimu sendiri.

Percuma kamu melawan.
Yang kamu perangi adalah kata hatimu sendiri.



Mengapa kamu hanya menjadi mendung?
Aku tak tahu apa yang menantiku di sana.
Menangis bersama hujan,
atau tertawa bersama mentari.

Pagi tak pernah bersembunyi.
Disisihkannya malam tanpa ragu.
Tak bisakah kamu seyakin itu?
Berani memiliki aku?

Sampai kapan harus bertahan dan berharap?
Jika cinta pun tidak dapat menggugahmu.
Adakah alasan lain untuk menunggumu?



Aku tak akan berlari mengejar,
biar cinta yang memanggilmu.

Mencintaimu bukan bagian tersulit ketika bersamamu,
namun memaafkanmu.

Kalau kamu melukai orang yang kamu cintai,
seharusnya kamu juga merasakan sakitnya.
Hanya dengan begitu kamu tidak akan melukainya lagi.



Hujan yang turun malam ini,
adalah sisa tangisku kemarin, kemarin, kemarin,
tak sempat kamu hapuskan.

Hujan adalah hatiku yang retak berserakan.
Hanya kamu yang mampu mengumpulkannya lagi.
Utuh seperti dulu.

Kini kamu tahu mengapa aku
mencintai hujan.
Karena bisa ku sembunyikan
suara tangisku di sana.

Jawablah, Hujan,
apakah yang ingin kau hapuskan?
Kelirukah cinta ini?



Kalau aku tak lagi berarti untukmu,
kamu baru saja mengakui kekalahanmu.
Kamu berikan aku pada dia yang mengerti arti cinta terbaik.

“Cinta dimulai dari mencuri.
Mencuri pandang, mencuri perhatian, mencuri hati.
Setelah ditangkap, apakah perlu dipenjarakan?”



Pagi yang mendung,
tempatku mengadu,
sudah lama matahariku pergi.

Bait-bait yang ku simpan di hati,
ku titipkan bersama angin.
Terdengarkah olehmu?

Seseorang seperti kamu,
bukan kamu yang seperti seseorang.
Itulah cinta yang ku maksud.



Selalu aku mengingat setiap saat bersamamu,
agar ketika kamu pergi,
aku tak pernah sendiri,
kenangan itu jadi milikku.

Seperti bintang kepada malam,
tak ada yang bisa gantikan cintamu.

“Jangan-jangan cinta terbuat dari kopi.
Pahit.
Tapi membuatmu kecanduan.”



Malam yang padam,
tanpa bintang,
tanpa kamu.

Malam menyulut keheningan,
sejak kamu tinggalkanku.

Memejamkan mata tiap malam,
hanya itu caraku bertemu denganmu.

Aku tahu malam bukan milikku,
hanya bisa ku pandangi,
tak bisa menyentuhmu.

Jika aku harus melanjutkan hidupku tanpa kamu,
akan ku simpan cinta ini di angkasa.
Biar aku bisa melihatnya
setiap kali ku merindukanmu.



Kenapa aku terbuat dari pagi,
dan kamu malam?
Kita berbeda waktu dan tempat,
bagaimana mungkin...?

"Jangan bersedih.
Badai bukan hanya memporakporandakan,
namun juga menumbuhkan akar yang baru."



Siang yang bimbang.
Melupakan pagi atau menantikan malam.
Melupakanmu atau menantikan dia.

Siang penuh bayang-bayang.
Aku tak mau keliru.
Kamukah?
Diakah?
Ku pejamkan mata,
memilih dengan firasat.



Pagi untuk memperbaiki kesalahan.
Cinta tak perlu dikorbankan.

Detik-detik saling melepaskan,
kenangan dan masa depan.
Terpisahkan jarak dan waktu.
Pergi dan datang.
Kamu. Dia.



Aku di ambang pintu.
Mundur, atau melangkah.
Mengakhiri, atau mengawali.
Aku menutup pintu.
Hari baru, cinta baru.

Pagi untuk menyadari kekeliruan.
Jangan takut mencoba lagi.
Cinta yang dewasa,
memberi kesempatan.

Pagi mewarnai hati,
ada cinta yang menanti.

Pagi menerbangkan daun-daun.
Biar pergi jauh.
Aku siap memulai cinta yang baru.

“Pagi agar kamu tak letih berharap.
Cinta menantimu di pagi yang lain.”



Hanya cinta yang menyakitkan,
yang tak terlupakan.

Maukah kamu naik satu kereta,
kita duduk bersama,
saling bercerita tentang...
dia.



by: ckk ^^
*disadur seperlunya dari "aa ~ mpsm"
02 Februari 2012
kamarku ~ Yogyakarta
sekitar pk 20.20 WIB

Comments







Instagram